Pulkam.
Pulang kampung, mungkin hal yang identik dengan kata itu
adalah liburan, ataukah kegiatan rutin setelah lebaran fitri atau lebaran haji
atau ketika liburan panjang. Namun pulang kampung (pulkam) saya hari ini bukan
karena diantara itu, tapi saya pulang kampung karena adik laki-laki saudara
ipar saya hendak menikah hari jum’at lusa, bersamaan dengan anak perempuan
saudara saya (ponakan). Dan ijin pulang dari atasan/kepala sekolah cuma empat
hari yakni rabu-sabtu saja dan rencana kembali hari ahad nanti, insyaAllah.
Hari ini (rabu) saya pulang ingin menghadiri acara besar
itu, saya bersama ponakan laki-laki saya yang bersamaku pulang naik kapal laut
cepat atau (fiber).
Tepatnya jam 10:00 pagi kami berdua berangkat ke pelabuhan fiber naik ojek, perjalanan sekitar 35 menit dari rumah. Segalanya telah dipersiapkan, madu dua botol, motor-motor sudah dimasukkan di dalam rumah, lampu dipadamkan kecuali lampu teras, dan tidak lupa air PDAM yang masuk ke rumah ditutup rapat. Mengingat kami akan tinggalkan rumah tanpa penghuni, jadi demi keamanan segalanya mesti berhati-hati.
Tepatnya jam 10:00 pagi kami berdua berangkat ke pelabuhan fiber naik ojek, perjalanan sekitar 35 menit dari rumah. Segalanya telah dipersiapkan, madu dua botol, motor-motor sudah dimasukkan di dalam rumah, lampu dipadamkan kecuali lampu teras, dan tidak lupa air PDAM yang masuk ke rumah ditutup rapat. Mengingat kami akan tinggalkan rumah tanpa penghuni, jadi demi keamanan segalanya mesti berhati-hati.
Namun ada satu hal yang membuatku tidak tenang, yakni
rumah yang tidak terkunci. Saya hanya mengunci pintu dari jendela depan, dan
jendela sendiri hanya ditutup dari luar dalam artian jendelanya yang tidak
terkunci, hanya sehelai kertas yang dipakai untuk membuat pintunya tidak
terbuka. Sampai sekarang hanya bisa berdo’a semoga tidak terjadi apa-apa.
Sekitar jam 10:40 menit, kami akhirnya sampai di
pelabuhan dan bergegas membeli tiket, harga tiket masih dengan harga yang sama
ketika saya pulang kampung sekitar bulan mei kemarin. Untuk kami bedua Rp.322.000,-
jadi perorang hanya Rp.160.000,- dan retribusi masuk Rp.1.000,- perorang.
Setelah itu tukang ojek pun mengantar kami masuk di
dermaga, sekitar 200 meter masuk dari tempat penjualan tiket tadi. Saya pun membuka
dompet buat bayar tukang ojek Rp. 30.000,- perorang, jadi Rp.60.000,- untuk dua
orang. Sebenarnya pembicaraan awal kami dengan tukang ojek kami menyepakati
(cieeeh, layaknya Memorandum of Understanding... hahah...) Rp.25.000,-
perorang, tapi karena rasa iba tiba-tiba muncul maka saya berniat membayarnya
sekalian Rp.30.000,- per orang saja.
Tukang ojek yang membawa kami itu adalah yang sering
mangkal di depan Pasar Lamekongga, yang satunya masih agak muda, mungkin
sekitar 40-an tahun, dan yang satunya agak gemuk dan sedikit lebih tua, mungkin
sekitar 50-an tahunan lah. Saya berboncengan dengan bapak yang agak muda, dan
ponakan saya bersama dengan orang yang agak gemuk, mungkin dengan pertimbangan
agar beban tidak terlalu berat makanya bapak itu memilih ponakan saya yang
masih sekolah di SMK tempat mengajar saya itu untuk bersamanya, entahlah...
kejadian itu tiba-tiba saja terjadi saat masih di depan rumah ketika kami
hendak berangkat. Tanpa sadar saya sudah bersama dengan bapak yang lebih muda
itu, dengan scrap yang menutupi wajahnya.
Setalah membayar jasa baik mereka, bapak itu bertanya
tentang kepulangan kami kembali ke sana, beliau bermaksud menjemput kami
kembali ketika kami sudah datang. Akhirnya bapak itu memberikan nomor telponnya
untuk dihubungi jika kami masih membutuhkan jasanya... yah saya pun mengambil
nomer hp beliau, kami pun bersalaman dan mereka mendo’akan kami agar selamat
dalam perjalanan. Sungguh baik mereka itu... “terimaksih banyak pak, bapak juga
ya...” jawabku sambil tersenyum.
Kami pun masuk ke dalam kapal yang berkapasitas sekitar 200-an
orang itu dengan cepat, dan kami di hadang oleh dua orang perempuan muda
layaknya pramugari pesawat terbang. Mereka meminta tiket kami dan mengecek seat number kami, saya duduk di kursi
nomor B42 berdampingan dengan ponakan saya nomor B43. Salah satu dari
mereka mengantar kami dan menunjukkan tempat duduk kami, dan saya duduk dekat
jendela, tempat favorit saya ketika hendak perjalanan jauh... dengan ramah
perempuan itu tersenyum dan berkata “silahkan..”, dan saya pun tersenyum dan
berterimaksih pula.
Kapal ini sudah sedikit berubah dari sebelumnya, ada
perubahan perbaikan pelayanan, yang sangat terlihat adalah keramahan dan
diadakannnya pramugari kapal yang memberikan kemudahan dalam mencari tempat
duduk penumpang. Dulu sebelumnya, para penumpang bebas memilih tempat duduk
hingga tak beraturan, ada yang mengambil sampai dua tempat duduk bahkan sampai
baring dengan tiga tempat duduk. Pernah sekali saat itu saya memperhatikan
seorang ibu-ibu mencari tempat duduk yang pada saat itu kapal dalam keadaan
penuh, namun ada seorang laki-laki paruh baya berbadan kekar duduk dengan tas
dan dosnya di simpan pula di tempat duduk untuk satu orang. Padahal ibu-ibu itu
mondar mandir cari tempat duduk.
Akhirnya seorang petugas dalam kapal meminta kepada
orang itu untuk menyimpan barang bapak itu di bagasi kapal, ibu itupun akhirnya
duduk.
Satu hal yang belum hilang dari kebiasaan dulu adalah
bebasnya pedagang masuk yang menjajakan barang dagangannya, padahal di dalam
kapal telah disediakan kantin. Ini sangat membahayakan barang bawaan para
penumpang seperti pencurian begitupula dengan kenyamanan para penumpang dalam
kapal. Kebiasaan lain yang masih ada adalah pengamen yang bebas masuk sesaat
kapal hendak berangkat, kalau yang ini saya sih masih setuju-setuju saja,
pasalnya enak dengarnya secara live orang yang menyanyi dengan alat seadanya,
kocak dan menghibur. Apalagi pengamen yang saya maksudkan dalam kapal ini tak
seperti pengamen yang di pinggir jalan, yang ini beda. Terdiri atas 5 anggota
yang di bagi beberapa tugas, dua orang memegang gitar dan dua orang membawa
gendang dan seorang sebagai vokalis. Satu lagu dari Last Child berjudul Diary Depresiku mereka bawakan dengan
penuh penghayatan, seakan mereka larut dan ikut mengalaminya sebagai seorang
pengamen. Sayapun terbawa dan sesekali ikut bernyanyi dengan suara pelan,
sungguh lagu yang menyentuh jika dihayati...
Usai
menyanyikan lagu itu, sang vokalis kemudian berkeliling dengan membuka topi
meminta recehan atau seribuan kepada para penumpang yang ikhlas mau memberi.
Sambil berkeliling, anggota yang lain masih memainkan alat musiknya dan
menyanyikan sebuah lagu dangdut beramai-ramai, entah lagu apa, karena suara
mereka tidak terlalu jelas. Yang saya bisa kenal hanya suara dangdutnya dari
gendang yang meraka bawa. Sang vokalis tadi dengan sabar dan mendo’akan para
penumpang sambil menyisir tempat duduk dari kelas
A-C hingga ke kelas VIP dan economi.
Karena banyak juga yang tidak memberi, jika saya
perkirakan rata-rata yang mereka dapatkan sekitar seratus sampai dua ratus ribu
rupiah untuk keseluruhan kelas, jadi mereka pentas di setiap kelasnya. Jika
mereka bagi dengan lima orang, mungkin dapatnya dua puluh sampai tigapuluh ribu
perorang. Hmmm... lumayanlah buat mereka, setidaknya ada usaha halal daripada
mereka mencuri atau yang lain. Setelah itu akhirnya mereka keluar dan tanpa
henti mereka berterimakasih kepada para penumpang dan mendo’akan kami sekalian...
“terimaksih” jawabku dalam hati.
Sekitar satu jam menunggu, akhirnya kapal berangkat, pukul.
11:30, masih memikirkan rumah dan pekerjaan yang ditinggalkan. Terasa tidak
tenang meninggalkan rumah dalam keadaaan seperti itu, keamanaannya dan meniggalkan
tanggungjawab pekerjaan. Meski secara aturan memang sah asalkan ada ijin dari
atasan, namun itu belum cukup meninggalkan pekerjaan dan tanggungjawab besar
itu. Siapa yang mengajari siswa-siswaku disana nantinya yang menggantikan untuk
sementara tugas-tugasku, sebagai guru dan sebagai kepala jurusan. Sangat tidak
tenang pulang kampung dalam keadaan seperti ini... belum lagi tugas di kampus,
mata kuliah yang saya bawakan pastinya tak ada yang bisa menggantikan,
begitupula tanggungjawab pekerjaan lain... Sungguh tak dapat menikmati
pejalanan ini. Beginilah bedanya pulkam karena liburan dengan pulkam
dadakan....
Sekitar pertengahan perjalanan dari sekitar tiga jam
setengah menuju tujuan, terdengar suara, “Burrrr...” suara perut berbunyi
diluar sadar. Ternyata saya lapar, suasana dingin di ruang ber AC dalam kapal
memancing perut untuk diisi. Tak banyak makanan yang dijual dalam kapal ini,
yang menjadi alternatif yang bisa menyumbat kekosongan perut hanya Pop Mie, saya pun memesan dua untuk kami
berdua makan bersama. Saya sempat berfikir, siapa sebenarnya yang menemukan mie
dalam kemasan ini yang sisa diseduh kala ingin dimakan, dikemas dalam gelas
plastik.
Teringat dengan penemuan air dalam kemasan, kisah
inspiratif seseorang yang menjual, membawa dan membawa air minum dalam kantong
plastik berkeliling kampung. Hingga ia di cemooh oleh orang-orang, akhirnya ia
menawarkan kepada orang-orang yang hendak bepergian atau hendak melakukan
perjalanan jauh. Yang dikenal masa sekarang ini dengan berbagai merek bisa dijumpai
dimana-mana, air dalam kemasan. Sama dengan pop mie ini, saya bertanya-tanya
tentang siapa penemunya... yang pastinya mungkin terinspirasi dari air kemasan
tadi.
Menunggu sekitar lima menit, mie instant seduhan dalam
gelas itu akhirnya datang juga, laperrr... makan...makan... makan... manre...
manre... manreee... :D
Setelah makan di tempat duduk, akhirnya saya menulis
kisah ini, laptop di on kan dan
menulis. Dengan headset di telinga
menikmati musik ”Noah Band” saya mulai menulis ini, sambil mengingat
kejadian-kejadian yang baru saja saya saksikan dan alami, sekitar 20 menit
membuatnya menjadi rangkaian kisah meski tak begitu berarti bagi pembaca.
Setidaknya saya melakukan ini (menulis) demi kesenangan saya, ada kenikmatan
tersendiri melakukannya, menggambarkan diri dan perjalanan saya untuk dikonsumsi
sendiri. Menjadi kaca dan kenangan kelak dan mengikatnya dalam tulisan agar tak
terlupakan begitu saja. Sudah lama saya ingin menulis, hasrat selalu ada sejak
masih SMA, ingin mengembangkan hobby ini, hingga kuliah belum kesampaian.
Bahkan sampai kerjapun belum ada waktu dan kesempatan, baru sekitar sebulan ini
saya mulai tertarik kembali dan belajar untuk memulai menulis. Mudah-mudahan
bisa bertahan lama... amin.
Akhirnya rasa ngantuk menghampiri juga,
huuuaaaaammm.... perjalanan sekitar 1,5 jam lagi menuju pelabuhan Siwa... cuaca di luar cerah, dan ombak laut masih stabil.... oke saya tidur dulu
ya...
Ntar kalo sudah bangun, ane lanjut lagi ya... see...
(sekarang pukul. 13:07 siang di tengah laut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar