Kamis 8-11-2012, terbangun pagi-pagi dengan lagu dari Helloween, forever and one. Nada alarm hp yang
sudah ada sejak pertamakali memiliki Nokia 300i ini setahun lalu yang sampai
sekarang belum di ganti-ganti. Masih dengan lagu jadul dari Helloween, eh
kebetulan bulan ini adalah bulan Helloween ya... hehehe...
Setelah melakukan beberapa aktifitas pagi, jalan-jalan ke rumah family
yang lain, saya pun kembali ke rumah. Jam menunjukkan pukul 10:40 pagi, saya
bersantai di bawah kolom rumah, ada kakak dan kakak ipar, ada juga ponakan yang
masih kecil berumur sekitar 5 tahun sedang bersepeda berputar-putar di halaman
depan rumah. Masih kebiasaan dari dulu, kami lebih banyak menghabiskan waktu di
bawah rumah berbincang-bincang dan bercerita panjang lebar tentang segala hal seakan
balai-balai di bawah rumah ini adalah tempat wajib no.dua setelah bangun tidur.
Suasana nyaman lebih terasa jika kumpul di bawah rumah, ditambah lagi memang
hawa panas di atas rumah. Entah mengapa panas luar biasa di atas rumah jika
sudah berada diantara jam 10 pagi hingga jam 5 sore, jadi aktifitas tidur siang
pasti di bawah rumah.
Sambil minum-minuman dingin sirup
ABC (sorry sebut merek), kami banyak membicarakan dan menanyakan
keluarga-keluarga yang lain yang jarang saya temui. Demikian pula hubungan
kekeluargaan kami dengan mereka itu. Kata kakak sebagian keluarga sudah ada di
rumah pengantin rumah kakak tertua kami. Rancana saya dan kakak saya ini baru
akan ke lokasi sebentar sore, mengingat cuaca panas di luar sana yang luarrrr
biasa, “bisa gosong kita” katanya.
Lokasi tempat tinggal kakak saya yang mengadakan pesta itu lumayan
jauh, sekitar 5 kilometer dari rumah dengan kondisi jalan separuh dengan jalan
perkerasan dan separuhnya jalan petani. Medan yang berat menjadi pertimbangan
sebagian keluarga menunda kesana dan menunggu sore hari. Namun akan menjadi
pertimbangan pula jika dilalui malam hari, gelap, tak ada listrik disepanjang
jalan dan jarak rumah yang berjauhan, bahkan rumah dan kampung yang akan kami
tuju adalah kampung tanpa listrik PLN dan kami harus melalui padang rumput,
hutan dan kebun untuk sampai kesana. Hanya orang yang bernyali besar yang
berani melewati medan itu dan saya menyerah atasnya (ampun DJ).
Kampung itu bernama AdakkaE, kampung
dusun yang mungkin hanya berpenduduk kurang dari 50 kepala keluarga, alat
penerangan mereka hanya mengandalkan mesin genset
bagi yang sedikit bermodal dan kebanyakan masih memakai penerangan manual yakni
pelita (bukan Pelita Jaya FC) minyak
tanah yang bersumbu. Namun jangan salah, kampung itu yang membesarkan saya,
sejak kecil berumur sekitar 3 tahun saya dibawa kesana, hingga bersekolah di
kelas satu sekolah dasar yang kebetulan berhadapan dengan rumah sebelum saya
pindah di sini (Kalola) sewaktu kelas
dua SD. Jadi kami sempat menetap di sana dengan sebuah rumah dan sebidang tanah
kebun mente, sekitar tahun 1988 kami
akhirnya pindah di tempat sekarang di desa Kalola
ini.
AdakkaE adalah daerah perbukitan yang ditumbuhi padang rumput, jadi
pendapatan utama penduduk setempat adalah berkebun mente dan beberapa hasil kebun yang lain. Daerah tersebut termasuk
gersang, agak sulit rasanya mencari air untuk mandi berember-ember apalagi buat
berenang. Akan tetapi tidak jauh, dibelakang kampung itu terdapat bendungan
besar, sekitar 20 menit berjalan kaki kita akan sampai di tepi waduk besar itu,
Bendungan Kalola nama bendungannya.
Karena akses jalan yang kurang
bagus dan letaknya yang jauh, masyarakat memilih untuk bergantung pada sumur
alami setempat yang tersebar di beberapa titik di kampung itu. Demikianlah
gambaran tentang kampung itu, kampung yang belum tersentuh dengan keramaian
kota dan belum merasakan bagaimana kenikmatan menggunakan listrik pemerintah.
Setelah tidur siang, waktu menunjukkan pukul 16:40 saya pun
bersiap-siap berangkat. Tidak lupa mandi dan gosok gigi. (hehe...)
Let’s go....
Brumm... Brumm... motor tak ber rantai itu telah siap, Yamaha Mio (sebut merek lagi, sorry).
Sebenarnya ada tiga pilihan disana, tapi saya memilih si Mio, warna merahnya
membuatku tergoda menungganginya. Apalagi ia merek Yamaha, entah mengapa saya
mengidolakan motor buatan Jepang itu, saya jadi teringat dengan White Ito’ dan si Komeng yang saya tinggalkan di Kolaka sana... saya merindukan
mereka berdua... (lebay.... hehe... )
Saya berboncengan dengan om yang juga mau ke sana, kami pun
bercakap-cakap sepanjang perjalanan, mendaki gunung lewat di lembah. Saya mulai
iba dengan motor yang kami kendarai, pasalnya medan yang sangat tidak sesuai,
beberapa kali harus kandas di bebatuan dan gundukan tanah. Sekitar empat kali,
om saya harus turun dari motor ketika kami sedang melewati medan yang berlubang
dan dalam. Sungguh bukan medannya... kataku dalam hati.
Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kami tiba di lokasi, ternyata
sudah ramai, jelaslah karena besok acara sudah dimulai. Kamipun disambut oleh
kakak dan keluarga yang lain.
Malam itu adalah acara Mappacci
atau orang biasa sebut malam pacar. Setelah semuanya di siapkan,
ternyata ada yang kurang, yakni ada satu orang yang belum datang dan belum dijemput
yakni guru mengaji mempelai wanita (ponakan perempuan). Sudah menjadi adat di
sini adalah acara mappacci itu akan
dirangkaikan dengan acara menghatamkan
Alqur’an dan guru mengaji sewaktu kecil harus didatangkan. Nama ibu itu adalah ibu Hj. Kulawu,
beliau adalah guru mengaji yang menghatamkan bacaan qur’an yang hendak menikah
itu sekaligus guru agama saya sewaktu masih SD.
Dan tempat tinggalnya ada dimana??? Di depan rumah saya di kampung...
Yang berarti saya harus kembali kesana... (#@$%@&@*@!%)
Jam menunjukkan pukul 20:15 malam yang pertama saya ingat adalah “mendaki gunung lewat dilembah di kegelapan
malam jum’at”. Berbagai alasan saya keluarkan, tapi tak diterima pula,
hingga alasan pamungkas pun dibantah oleh keluarga-keluarga lain, saya beralasan
lagi mules, lagi mau buang air, dan memang kebetulan pada saat itu saya lagi
ingin BAB. Satu jawaban mereka yang membuat saya terkunci “Haaa... cocokmi, kan
disini tidak air nanti sekalian di sana buang air”. Ter enyuh...
Akhirnya saya memberanikan diri, pakai jaket, helm, pasang headset putar lagu-lagu Rocket Rockers kencang-kencang, tancap
gas...
Hingga tiba di daerah ber hutan yang sepi tanpa rumah disekitar sana,
semua jenis bulu merinding, tiba-tiba hawa dingin datang, jika dihitung-hitung Ayat kursi yang saya baca hampir sama
banyak jumlah lagu yang saya dengar.
Berdoa..... hingga sampai di perkampungan kecil baru bisa bernafas sedikit
lega.... dan setelahnya harus melewati lagi daerah padang rumput... kembali
dengan bacaan-bacaan wajib... berdoa....
Perjalanan yang saya tempuh sore tadi sekitar 30 menit, tapi malam ini
saya bisa tempuh hanya 20 menit saja... sungguh perjalanan menegangkan... jika
ini di filmkan mungkin bisa meraih Grammy
Award di Amrik sana... (hahah... lebay... )
Akhirnya saya menjemput ibu itu di rumahnya. Sebenarnya saya sangat
kasihan ketika beliau bertanya, “nak, kita naik apa kesana?”. Saya baru sadar,
iya betul juga kasihan ibu itu malam-malam naik motor dengan perjalanan yang
jauh dengan medan yang berat yang bisa membuat persendian bergeser beberapa
inchi. Sayapun berfikir, kenapa ya bukan ini yang saya jadikan alasan supaya
bukan saya yang menjemput... hehhe...
Tentang mules dan mau BAB tadi akhirnya tidak jadi, selera untuk itu,
sudah tidak ada lagi... hilang karena tegang... :P
Kami akhirnya berangkat, tapi saya mencoba jalur yang berbeda dengan
anggapan mungkin jalan yang satunya jalannya lebih bagus dari yang tadi. Rasa
kasihan yang mendorong saya memilih jalur itu, ibu guru yang ada dibelakangku
menjadi tanggungjawab sepenuhnya mengantarkannya dengan selamat sampai di
tujuan, seorang ibu yang tidak lain adalah ibu guru sewaktu SD dan sangat tidak
tega beliau ikut merasakan “kengerian” medan yang tadi. Jadi sebenarnya ada dua
jalan yang bisa ditempuh jika hendak ke kampung itu, dan yang satu ini hanya
agak lumayan jauh dan jika saya hitung-hitung jarak tempuhnya sekitar 45 menit.
Dengan medan agak datar, hanya sesekali mendaki dan jalanan agak sedikit lebar
dibanding yang tadi.
Kami pun berangkat dan bercakap-cakap di sepanjang perjalanan,
menanyakan anak-anak beliau yang kebetulan satu letting dengan saya sewaktu di
Sekolah Dasar. Beliau memiliki tiga orang anak laki-laki, yang sulung sekarang berada
di Makassar, yang kedua ada di Mamuju dan yang bungsu ada di Sengkang. Ketiga
anaknya sekarang sudah berhasil dan ketiganya menekuni dunia keagamaan karena
keluarga itu sejak dari dulu termasuk keluarga religius. Anak bungsunya sudah
beberapa kali menjuarai lomba MTQ
tingkat nasional dan pernah diutus ke Mesir mengikuti study disana. Sedangkan
abahnya (ayahnya) adalah guru di sebuah Madrasah di desa ini, sungguh keluarga
yang harmonis.
Beberapa kali saya sarankan ibu itu berpegang erat ketika kami
melewati medan yang sedikit mendaki dan terjal. Setelah itu kamipun melanjutkan
perbincangan kami dan beliau kerap menanyakan bagaimana kondisi saya di perantauan
sana di bumi Mekongga-Kolaka.
Tak lama kemudian kami pun sampai, saya pun lega karena ibu itu tiba
dengan selamat. Tanpa berlama-lama acarapun dimulai karena beliau adalah orang
terakhir yang ditunggu. Dan ternyata saya adalah salah satu orang yang ditunggu
juga, menjadi protokol (MC). Wadduhhh...
Ngeles, berbagai jurus alasan saya keluarkan, mulai dari suara yang
kurang bagus sampai pakaian yang seadanya. Memang pakaian saya kala itu masih
memakai kaos oblong bergaris-garis dan memakai celana yang berkantong banyak,
karena malam itu masih malam bebas belum terlalu resmi pikirku. Tapi ternyata saya
adalah orang yang tidak ahli dalam menghindar dan menangkis, hanya bisa pasrah....
Sungguh tidak ada persiapan malam itu, apalagi menjadi protokol acara
seperti ini yang sarat dengan adat dan ritual-ritualnya yang sangat penting.
Yang ada dikepala saat itu hanya satu “Awweh...”
Seumur-umur baru kali ini saya jadi MC acara adat yang seperti ini,
saya biasa jadi MC paling di acara-acara sekolah dan acara lain. Tugas yang
berat itu akhirnya saya terima dengan ikhlas dan lapang dada, ridho dunia
akhirat dah...
Dengan pakaian seadanya, sayapun tampil meyakinkan, tanamkan dalam jiwa
saya bisa dan mampu untuk itu, saya mewakili Sulawesi Tenggara disini.
(hahaha....gubrakkk...)
Assalamualaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh...
Bla...bla... bla....
.....
“kami persilahkan kepada bapak
imam desa Sogi....
“selanjutnya kami persilahkan kepada
bapak imam dusun Watakalola...
“selanjutnya kami..... dst.
Sekitar hampir satu jam acara prosesi Mappacci itu berlangsung dan selasai tepat pukul 22:30. Satu hal
yang saya simpulkan dari acara adat seperti itu, dan pada umumnya di wilayah
tanah bugis ini, bahwa masih kentalnya acara adat istiadat setempat termasuk
dalam susunan strata sosial di masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi akan di dahulukan baru kemudian yang di
bawahnya. Contohnya saja ketika saya selaku MC acara tersebut, urutan nama yang
dipanggil terlebih dahulu adalah yang bergelar Arung (andi) yang merupakan kalangan atau keturunan bangsawan,
kemudian yang bergelar Haji yang
pernah melakukan perjalanan haji, barulah kemudian yang tidak menyandang gelar
(sosial) apa-apa termasuk keluarga penyelenggara acara tersebut.
Demikian pula
dengan umur atau usia, meski usia masih muda, jika memiliki dan menandang gelar
“keramat” itu maka dia akan didahulukan dari pada yang lebih tua yang tak
bergelar apa-apa. Entah, kebiasaan inilah yang betumbuh kembang hingga sekarang
ini yang masih sangat kental terutama di tanah bugis-makassar ini. Namun satu
hal yang patut diacungi jempol adalah sifat gotong royong masyarakatnya yang
selalu terjaga, yang tak selamanya bisa diukur dengan materi dan uang hingga
adat istiadat tersebut itupun masih bisa dirasakan hingga generasi-generasi
sekarang.
Jam menunjukkan pukul 23:15, rasa ngantuk mulai terasa... sayapun
bersiap-siap menuju pulau kapuk....
(selalu diakhiri dengan tidurrrrr.... )
:p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar